Resume Buku : Slilit Sang Kyai - Alwan.id

Baru

Jumat, 09 Juni 2017

Resume Buku : Slilit Sang Kyai

Hai Sobat, kali ini saya akan membagikan resume buku berjudul Slilit Sang Kyai  karya Emha Ainun Najib. Sebenarnya saya hanya mengabil satu judul saja untuk di remume. Cekidot sob

Resume Buku : Slilit Sang Kyai
         
                Terlalu asyik dengan kegiatan kerja bakti bersama penduduk memperbaiki jembatan. Kiai Muhammad lupa untuk melaksanakan shalat lohor. Ketika sadar dia bergegas pergi ke masjid. Sesampainya di sumur, dia melihat seekor semut terkatung-katung di permukaan air.
                 Lalu Kiai Muhammad berusaha menyelamatkan semut itu. Dia melakukannya dengan hati-hati, karena dia akan dihinggapi rasa dosa kalau gagal menyelamatkan semut itu. Alhamdulillah dia berhasil, semut itu berada di air dalam timba. Tetapi, begitu Kiai Muhammad hendak mengangkat timba, suara adzan terdengar dari corong masjid.
            Kiai Muhammad menarik napas panjang. Lebih besar manakah dosa tak sholat lohor dibanding dengan “jasa” menyelematkan semut. Kemudian Kiai Muhammad meletakkan semut ke tanah, dan berwudhu. Lalu menunaikan sholat.
            Pada malam hari, Kiai Muhammad menceritakan peristiwa itu kepada para santrinya. “Jangan menjadi cengeng dan sombong oleh cerita ini,” katanya. “Jangan pernah menganggap aku telah sedemikian berjasa terhadap kehidupan semut itu sehingga Tuhan menggampangkan dengan menganggap bahwa Dia pasti mengampuni kelalaian lohorku, meski jelas Tuhan tidaklah cerewet”
              Pada lain waktu, Kiai Muhammad mengemukakan, peristiwa saat dia menolong semut itu adalah pertemuan rahasia antara nasib manusia dan keagungan Allah yang tak terduga. Itu adalah titik persilangan antara jalan syariat dan lorong hakikat.
            Tetapi, Allah tidak mempunyai kebutuhan, laba atau rugi atas bersedia atau tidaknya manusia mengenali kemesraan cinta-Nya. Bahkan, jika manusia menyelewengkan waktu dan ruang kemerdekaan yang Dia berikan. Dia tetap pada ada-Nya, tak menangis dan tak tertawa.
            Oleh karena itu, Allah bukanlah the oppressed yang perlu dibela. Kalau Kiai Muhammad tidak sembahyang lohor, kita tidak berhak memarahi atau membencinya dengan landasan bahwa kita sedang membela hukum Allah.
            Terkadang ada baiknya mengurangi penggunaan tenaga menjadi satpam fiqih dengan menggunakannya untuk meriset apakah seekor semut pada suatu hari mewakili kehadiran Allah di hadapan kita.
            Seorang khalifatullah menerjemahkan komitmen sosial di dalam perspektif kosmis, tak sekadar terbatas pada dunia kehidupan manusia, dengan bagian-bagian alam yang lain hanyalah instrumen bagi kesejahterannya. Sebuah generasi yang mewarisi malapetaka sosial ekonomi dan bencana ekologi kepada anak cucunya adalah generasi ruhani kelas tiga yang mabuk di atas singgasana “aku manusia”.
            Jika generasi macam itu menggenggam agama, yang terjadi adalah seperti yang dipuisikan oleh Sunan Panggung sekian abad lalu : Orang yang tak mengetuk pintu rahasia/Hanyalah yang terbelenggu tata karma/Semabahyang sunnah dan fardhu tak pernah tertinggal/Untuk menutupi kelalaiannya terhadap tetangganya yang lapar/…Sepadati penuh kertasnya/Yang dibicarakan hanya masalah halal-haram…
            Orang-orang beriman kini makin diuji untuk menentukan apakah mereka lebih memilih “menghimpun pahala pribadi” ataukah “menyumbangkan diri bagi proses-proses sosial”. Hal yang kedua itu bisa dirisikokan berkurangnya peluang yang pertama. Kalau sewaktu berangkat ke masjid untuk shalat Jum’at tiba-tiba anda jumpai di jalan sesorang tertabrak motor padahal suara iqomah sudah terdengar dari corong masjid, apa yang akan anda lakukan?
            Momentum dan konteks seperti itu terjumpai di berbagai bidang kehidupan. Dan di dalam skala yang besar, rabiah al Adawiyah memilih sikap ini : “Ya, Tuhan, jadikan tubuhku membesar sehingga memenuhi neraka, sehingga tidak tersedia lagi tempat di neraka itu bagi hamba-hamba-Mu…”
            Usaha kekhalifahan semacam itu sama sekali tidak menjadi sia-sia meski sejarah tidak pernah mencatat bahwa hal itu berhasil terwujud. Kalau seorang direktur perusahaan tahu bahwa lima juta rupiah gajinya setiap bulan tidak seluruhnya merupakan hak miliknya, sehingga sebagian gaji itu diserahkan kepada kaum miskin yang meng-hak-inya, pasti itu bukan jaminan bahwa kemiskinan akan lenyap dari muka bumi.
            Tetapi, dia dengan demikian telah menjalankan kerangka duniawi-ukhrawi perniagaan dengan dan dalam Allah.
            Dia telah lebih dari tingkat insan dan Abdullah : dia Khalifatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar